Minggu, 08 Desember 2013

One Day No Car Kelurahan Tirtajaya


Car Free day Grand depok City

Setiap minggu pagi ada car free day di jalan masuk grand depok city. Mulai jam 6 sampai jam 9 pagi tidak ada kendaraan bermotor yang boleh lewat mulai dari jembatan Kota Kembang sampai perempatan Anyelir 3. Tidak tanggung-tanggung, sejumlah penjaga ditempatkan di ujung jalan, baik dari Kepolisian maupun Dinas Perhubungan.
Entah siapa yang menggagas (mungkin saja Pemeritah Kota), yang jelas car free day menjadi wahana bagi masyarakat untuk berolahraga. Ada yang bersepeda, jogging, ada juga yang jalan kaki. Masyarakat yang memanfaatkan tentu saja menjadikan ini sebagai ajang untiuk menjaga tubuh agar tetap bugar, apalagi bagi mereka yang sibuk bekerja sehingga tidak memiliki kesempatan berolahraga di sela kesibukannya.



Sayangnya, para penggagas belum sepenuhnya memikirkan masyarakat yang tidak memanfaatkan car free day ini. Jalan yang ditutup adalah satu-satunya akses dari Kota Kembang menuju jalan Kartini begitu pula sebaliknya. Para pegendara motor yang ingin beraktivitas di minggu pagi harus melewati jalan setapak berbatu yang memutar (dengan semak-semak di sisi kiri kanannya). Perlu waktu 2 sampai 3 kali lebih lama untuk sampai di jalan Kartini dibanding bila melewati jalan utama Kota Kembang (yang ditutup untuk car free day), apalagi bila keadaan hujan atau sehabis hujan, butuh ekstra waktu maupun kesabaran untuk melaluinya. Bahkan para pengedara mobil harus bersedia menunggu sampai jam 9, atau mengambil jalan memutar lewat Depok Tengah yang jaraknya malah lebih dari sekedar 3 kali jarak tempuh bila melewati jalan Kota Kembang.

Car free day ini sebaiknya tidak mengganggu aktivitas masyarakat yang tidak memanfaatkannya. Para penggagas sudah semestinya menyiapakan jalan alternatif yang pantas (baik dari segi jarak maupun kondisi jalan), karena tidak semua orang berolahraga di hari minggu (mungkin di hari sabtu, atau jumat, atau hari lainnya). Semoga keadaan ini dapat segera diatasi.



Kamis, 05 Desember 2013

Jembatan Panus Warisan Kota Depok


Seputar Sukmajaya 
Merasa cukup memandangai dan menjelajahi stasiun, saya bergerak ke arah timur di Jalan Tole Iskandar menuju Jembatan Panus lama. Keberadaan jembatan ini dapat dikatakan sebagai saksi bisu perkembangan sejarah Depok. Jembatan yang telah mengalami beberapa kali pemugaran ini dibangun pada 1917. Pencetus jembatan ini adalah seorang insinyur Belanda, Andre Laurens. Penamaan Panus dikaitkan dengan seorang warga bernama Stefanus Leander yang tinggal di samping jembatan tersebut.
Jembatan yang membelah Sungai Ciliwung ini dulunya merupakan jalur penghubung tunggal warga yang mau melanjutkan perjalanan ke Bogor. Seiiring berjalannya waktu, karena lebar jembatan sekitar empat meter, kemampuan jembatan dalam menerima beban kendaraan berat cukup mengkhawatirkan. Maka, dibangun jembatan baru di samping jembatan lama yang dipergunakan sebagai jalur kendaraan bermotor. Adapun Jembatan Panus lama, hanya digunakan warga yang tinggal di daerah perbukitan di sekitar situ.
Meski begitu, ada sisik unik dari jembatan ini. Ternyata di tiang-tiang jembatan tua ini sengaja diberikan tanda sebagai pengukut ketinggian air sungai yang berasal dari hulu sungai di Puncak dan Bogor  yang menuju ke Jakarta. Makin tinggi permukaan air tentu terukur di tiang-tiang, yang menandakan semakin besar kemungkinan Jakarta dilanda banjir kiriman. Sehingga, dari Jembatan Panus ini dapat diukur berapa besar potensi ancaman banjir di Ibu Kota.
Sayangnya, ketika saya ingin bertamu ke rumah warga setempat yang merupakan keturunan langsung 12 marga, kesan tertutup saya rasakan. Salah satu warga enggan berkomentar ketika saya datangi, dan menyarankan untuk bertanya kepada Pak RT. Sayangnya, perlakuan sama saya dapatkan. Pak RT dengan entengnya mengaku sebagai pendatang dan orang Jawa, sehingga kurang tepat kalau berbicara sejarah warga Depok lama.
Padahal, sebelum melakukan survei tempat, saya mendapati bahwa warga yang tinggal di sisi barat Sungai Ciliwung, sebelum Jembatan Panus merupakan warga keturunan 12 marga yang merupakan pemeluk kristiani. Namun, kesan menghindar sudah saya dapatkan ketika sejak awal percakapan mereka menunjukkan bahasa tubuh ingin segera mengakhiri perbincangan.
Akhirnya, berkat bantuan seorang pemuda, saya diajak bertamu ke rumahnya untuk bertemu Pak Alexander (73 tahun). Ia merupakan sesepuh di kampung tersebut, dan masih menjalankan tradisi leluhurnya. Meski begitu, ia hanya mau menjawab sepintas beberapa pertanyaan saya, sebelum izin undur diri karena ingin istirahat.
Menurut Alex, Jembatan Panus dulunya merupakan jembatan gantung yang menjadi transportasi vital warga Depok. Karena belum ada jembatan yang bisa menghubungkan sisi barat dan timur yang dibelah Sungai Ciliwung, keberadaan Jembatan Panus menjadi jantung transportasi bagi warga yang ingin berpergian ke Bogor. “Jembatan yang asli sudah berubah, pondasinya tidak begitu. Tapi, ini termasuk jembatan sejarah,” katanya.
Di rumahnya yang terbilang cukup representatif itu, Alex menjelaskan bahwa sebagian keturunan dari 12 marga masih menjalankan tradisi leluhurnya. Selain menggelar temu kangen sebulan sekali yang dibungkus acara arisan, juga acara ritual khusus yang menjadi tradisi keluarga besar mereka tetap dipertahankan.

Bahkan, baru-baru ini sudah terbentuk dua yayasan yang bertugas untuk menggelar pertemuan antarkerabat. Pada bulan Desember, kata dia, pertemuan berlangsung meriah karena sekaligus memperingati Hari Raya Natal dan perayaan tahun baru. Alex menghitung, ada sekitar 200 kepala keluarga yang tinggal di daerah yang merupakan tanah warisan Chastelein itu. “Sebagian pekerjaan warga adalah bertani, karena di sini banyak pohon rambutan, duku, durian, dan kecapi,” katanya.