Seputar Sukmajaya
Merasa cukup
memandangai dan menjelajahi stasiun, saya bergerak ke arah timur di Jalan Tole
Iskandar menuju Jembatan Panus lama. Keberadaan jembatan ini dapat dikatakan
sebagai saksi bisu perkembangan sejarah Depok. Jembatan yang telah mengalami
beberapa kali pemugaran ini dibangun pada 1917. Pencetus jembatan ini adalah
seorang insinyur Belanda, Andre Laurens. Penamaan Panus dikaitkan dengan
seorang warga bernama Stefanus Leander yang tinggal di samping jembatan
tersebut.
Jembatan
yang membelah Sungai Ciliwung ini dulunya merupakan jalur penghubung tunggal
warga yang mau melanjutkan perjalanan ke Bogor. Seiiring berjalannya waktu,
karena lebar jembatan sekitar empat meter, kemampuan jembatan dalam menerima
beban kendaraan berat cukup mengkhawatirkan. Maka, dibangun jembatan baru di
samping jembatan lama yang dipergunakan sebagai jalur kendaraan bermotor.
Adapun Jembatan Panus lama, hanya digunakan warga yang tinggal di daerah
perbukitan di sekitar situ.
Meski
begitu, ada sisik unik dari jembatan ini. Ternyata di tiang-tiang jembatan tua
ini sengaja diberikan tanda sebagai pengukut ketinggian air sungai yang berasal
dari hulu sungai di Puncak dan Bogor yang menuju ke Jakarta. Makin tinggi
permukaan air tentu terukur di tiang-tiang, yang menandakan semakin besar
kemungkinan Jakarta dilanda banjir kiriman. Sehingga, dari Jembatan Panus ini
dapat diukur berapa besar potensi ancaman banjir di Ibu Kota.
Sayangnya,
ketika saya ingin bertamu ke rumah warga setempat yang merupakan keturunan
langsung 12 marga, kesan tertutup saya rasakan. Salah satu warga enggan
berkomentar ketika saya datangi, dan menyarankan untuk bertanya kepada Pak RT.
Sayangnya, perlakuan sama saya dapatkan. Pak RT dengan entengnya mengaku
sebagai pendatang dan orang Jawa, sehingga kurang tepat kalau berbicara sejarah
warga Depok lama.
Padahal,
sebelum melakukan survei tempat, saya mendapati bahwa warga yang tinggal di
sisi barat Sungai Ciliwung, sebelum Jembatan Panus merupakan warga keturunan 12
marga yang merupakan pemeluk kristiani. Namun, kesan menghindar sudah saya
dapatkan ketika sejak awal percakapan mereka menunjukkan bahasa tubuh ingin
segera mengakhiri perbincangan.
Akhirnya,
berkat bantuan seorang pemuda, saya diajak bertamu ke rumahnya untuk bertemu
Pak Alexander (73 tahun). Ia merupakan sesepuh di kampung tersebut, dan masih
menjalankan tradisi leluhurnya. Meski begitu, ia hanya mau menjawab sepintas
beberapa pertanyaan saya, sebelum izin undur diri karena ingin istirahat.
Menurut
Alex, Jembatan Panus dulunya merupakan jembatan gantung yang menjadi
transportasi vital warga Depok. Karena belum ada jembatan yang bisa
menghubungkan sisi barat dan timur yang dibelah Sungai Ciliwung, keberadaan
Jembatan Panus menjadi jantung transportasi bagi warga yang ingin berpergian ke
Bogor. “Jembatan yang asli sudah berubah, pondasinya tidak begitu. Tapi, ini
termasuk jembatan sejarah,” katanya.
Di rumahnya
yang terbilang cukup representatif itu, Alex menjelaskan bahwa sebagian
keturunan dari 12 marga masih menjalankan tradisi leluhurnya. Selain menggelar
temu kangen sebulan sekali yang dibungkus acara arisan, juga acara ritual
khusus yang menjadi tradisi keluarga besar mereka tetap dipertahankan.
Bahkan,
baru-baru ini sudah terbentuk dua yayasan yang bertugas untuk menggelar
pertemuan antarkerabat. Pada bulan Desember, kata dia, pertemuan berlangsung
meriah karena sekaligus memperingati Hari Raya Natal dan perayaan tahun baru.
Alex menghitung, ada sekitar 200 kepala keluarga yang tinggal di daerah yang
merupakan tanah warisan Chastelein itu. “Sebagian pekerjaan warga adalah
bertani, karena di sini banyak pohon rambutan, duku, durian, dan kecapi,”
katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar